Oleh: Redaksi e-Newsletterdisdik | Mei 19, 2009

What I’ve learned from Australia

What I’ve learned from Australia

Oleh : Zubaidah Ningsih (Zubeth)
Master by Research Student in Chemistry
Soft Condensed Matter Group
School of Chemistry, Melbourne University

Tulisan ini dibuat setelah saya mengamati anak2 Indonesia yang besar di Australia. Mencoba menelaah mengapa pendidikan di Indonesia seakan-akan gagal memproduksi anak2 cerdas dan pintar sehingga bule2 terasa superior dibanding kita. Juga sebagai jawaban atas pertanyaan para rekan guru di Pondok Putri Hidayatullah Batu yang berkenan mengundang saya untuk sharing pengalaman di dunia pendidikan di Australia. Semoga bisa memberi manfaat.

Belajar di Australia sedikit banyak telah membantu saya membuka mata tentang pendekatan lain di dunia pendidikan. Bulan pertama mengikuti Introductory Academic Program; sebuah program khusus yang diselenggarakan untuk menjembatani perbedaan pola pendidikan Indonesia dan Australia; cukup membuat saya sadar betapa tidak kreatifnya saya. Setelah membaca beberapa jurnal tentang perbedaan filosofi pendidikan Barat-Timur baru sadarlah saya apa perbedaan mendasar diantara keduanya.

Di pendidikan timur dikenal filosofi guru-murid sedangkan di dunia barat lebih dikenal filosofi I message. Guru-murid adalah filosofi yang menempatkan guru adalah sumber ilmu dan penentu arah pendidikan, sedangkan I message adalah filosofi pendidikan yang menempatkan murid sebagai arah pendidikan dan pelaku utama proses pendidikan. Jika di timur dikenal proses ngenger, meguru atau nyantri dimana guru, ustadz atau kyai sebagai pusat segala ilmu, maka di dunia barat ini guru hanyalah sebagai fasilitator. Muridlah yang menentukan apa-apa yang ingin dia pelajari. Berangkat dari budaya guru-murid menjadi I message itu sendiri di Australia membuat saya lumayan shock setelah menyadari betapa tidak mandirinya saya dalam menggunakan otak.

Di Australia ini saya mulai dikenalkan penentuan sikap atau pilihan yang disertai pro-kontra dengan penyusunan argumen dan telaah yang kuat untuk mendukung ide. Karena terbiasa dengan filosofi guru-murid (dimana jika menentang maka saya adalah murid yang kurang ajar :p) agak beratlah saya mengubah paradigma pengikut menjadi pemimpin. Dari yang duduk di belakang saja sambil menunggu teman lain bersuara (menunggu efek dari keberanian teman lain yang mungkin berakibat dipuji atau dicela…tidak bersuara itu lebih aman) menjadi aktor utama yang dipaksa harus bersuara. Bukannya saya bukan anak pemberani cuma yang namanya nekat di sini harus nekat yang berbasis otak. Walhasil berdarah-darahlah saya memeras otak.

Berangkat dari pengalaman pribadi yang cukup bikin shock dimana sesama pelajar di Melbourne Univ ini juga bilang bahwa semester pertama adalah saat-saat tersulit dimana kami dilarang berharap mendapat nilai lebih dari P (pass…asal lulus dulu), maka saya memulai petualangan saya menjelajahi dunia pendidikan barat. Karena ingin lebih mengenal dari basic pendidikannya, maka fokus saya adalah pendidikan anak-anak. Agak berat saya masuk ke sekolah-sekolah karena saya memang tidak melakukan riset di sekolah-sekolah. Jadi saya mencoba mengamati dari jalur lain. Mengajar mengaji di sore hari sepulang anak-anak sekolah, ini cara yang saya pakai untuk mengenal pendidikan di sana. Selain itu mengikuti kuliah teman2 saya yang mengambil bidang pendidikan, berdiskusi dengan teman yang langsung melakukan riset terhadap anak-anak dan juga berdiskusi dengan orang tua murid sering saya lakukan. Dengan harapan saya bisa belajar dari mereka.

Dan petualangan itu saya mulai. Mengajar ngaji anak-anak di sini adalah hal yang cukup menantang. Seorang anak muslim keturunan Indonesia yang ikut orang tuanya tugas belajar di Australia ternyata terbentuk menjadi pribadi yang unik. Mereka sulit berbahasa Indonesia, sehingga saya terpaksa tetap berbahasa Inggris dengan konsekuensi banyak dibenarkan oleh mereka yang lebih jago. Plus mereka hidup di daerah yang heterogen dimana mereka harus berinteraksi dengan non-muslim. Dan dunia anak-anak adalah dunia polos yang penuh pertanyaan lugu namun sangat dalam maknanya. Maka sering saya mendapat pertanyaan yang membuat saya terdiam. Neraka katanya panas, memang berapa suhunya? Mengapa kami tidak boleh makan babi? Saya tidak percaya cerita Nabi-nabi, mana ada orang bisa bicara dengan hewan? Kamu yakin kamu tidak membuat-buat cerita nabi-nabi? Mengapa tak ada nabi setelah Nabi Muhammad? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup membuat saya mempertanyakan lagi filsafat keimanan saya.

Di samping mempertanyakan content keagamaan dalam kegiatan mengaji itu, saya mengamati betapa liberalnya pemikiran anak-anak di sini. Mereka berani mempertanyakan apa-apa yang mereka rasa tidak rasional dengan tidak takut dipersalahkan, ditertawakan atau dikecam. Tak jarang saat saya menyampaikan materi mereka mengacungkan tangan, menunggu giliran dipersilahkan bicara dan tidak takut bertanya, menyampaikan opini, membantah atau bahkan mengeluh karena kelas terlalu lama dan membosankan (wuuppss…I think I failed to be a fun teacher :p). Hmm..cukup berbeda dengan saya yang dulu ngaji cuma bisa diam dan menerima apa saja. Belajar membaca Al Quran sampai bisa membaca secepat-cepatnya. Semakin cepat engkau membaca semakin berimanlah engkau. Banyak-banyak menghapal entah apa yang saya hapalkan… (parameter yang absurd untuk mengukur keimanan :D)

Selain mengamati pola pikir anak-anak yang liberal, saya juga mengikuti kuliah di mata kuliah Environment Education bersama Devin. Dalam kuliah itu dikenalkan adanya penggunaan obyek untuk menstimulasi ekspresi anak didik. Konsep yang dikembangkan dalam metode ini adalah dengan membiarkan anak didik mengekspresikan makna obyek tertentu dalam proses belajarnya. Dan yang lebih menarik lagi guru bisa mengembangkan daya kritis anak dengan membantunya terus bertanya tentang obyek tersebut. Learning through questions adalah konsep yang bisa dikembangkan untuk mengembangkan daya kritis anak sekaligus membangun pengetahuan seorang anak akan suatu obyek yang dekat dalam kesehariannya. Menurut saya proses belajar ini bisa membawa anak mempertanyakan hal-hal dalam kesehariannya yang tentu saja sangat membantunya memahami lingkungan di sekitarnya.

Selain konsep learning through questions ini, saya juga mengenal program Show and Tell yang banyak dikembangkan di sekolah-sekolah dasar di sini. Dalam program ini anak didik diharapkan membawa sebuah benda dan berbagi cerita tentang benda ini di depan teman-temannya. Dia bisa mengekspresikan pendapatnya akan benda tersebut sekaligus berbagi informasi mengenai benda ini. Keuntungan dari dua program ini adalah adanya pengembangan self actualization (aktualisasi anak didik) dan appreciation value (penghargaan pada anak didik).

Dua program ini berdampak pada pola pikir anak didik maupun pola pikir guru atau orang tua. Di sini banyak dikembangkan filosofi I message, pola pembelajaran dimana anak didik yang menentukan arah pembelajarannya dan guru atau orang tua menjadi fasilitator. Di sini juga dikembangkan guru atau orang tua tidak lagi menjadi satu-satunya pusat informasi tetapi menjadi fasilitator yang diharuskan lebih menghargai, memberi ruang dan tentu saja lebih open minded. Orang tua dan guru diharapkan tidak egois, mau mengakui kekurangan dan terus mendukung anak2 dalam proses pembelajaran ini.

Pertanyaan yang muncul sekarang bisakah pendidikan Indonesia dibawa ke arah sana? Jawaban saya tentu saja bisa. Memang pendidikan Indonesia ditengarai masih terlalu padat dengan kungkungan standarisasi sehingga anak didik bahkan tak punya waktu untuk mengaktualisasikan dirinya. Kurikulum yang padat namun ternyata gagal membentuk pribadi2 yang mampu berpikir mandiri dan kritis dianggap gagal membangun sisi afeksi (perasaan) walaupun sukses dalam sisi kognisi (intelegensia). Kegagalan pendidikan ini membuat pendidikan Indonesia dianggap gagal membentuk kepribadian bangsa. Namun apakah kita tak bisa melakukan sesuatu untuk hal ini?

Saya pribadi bilang tentu saja bisa. Sebagai salah satu perangkat pendidikan negara, pengalaman belajar di luar negeri tentu saja akan mempengaruhi pandangan saya akan cara saya mengajar. Jika memang budaya pengembangan I message dianggap belum dikembangkan di Indonesia, maka bisa-bisa saja sekarang saya mencoba mengembangkannya. Sebagai orang tua pun saya rasa tidak kurang jalan kita untuk bisa membantu pengembangan jiwa kritis anak-anak. Pendidikan sekolah bukan satu-satunya wadah pendidikan anak-anak. Orang tua tetap memegang peranan penting dalam pengembangan jiwa kritis anak yang akan membantu pembentukan jiwa belajar sampai akhir hayat anak. Bertebarannya buku-buku sastra, buku-buku sains maupun alat bantu ajar lain bisa dimanfaatkan orang tua untuk membantu anak-ananya di rumah.

Jika fasilitas ini dirasa mahal, maka internet bisa menjadi salah satu jalan untuk membantu. LIPI telah menyediakan satu situs khusus e-book dimana ratusan buku bisa di donlot gratis. (klik http://www.buku-e.lipi.go.id/). Untuk ilmu pengetahuan alam, orang tua bisa saja mengarahkan anak anda mengunjungi website http://www.dynamicscience.com.au/ yang memberi warna lain penyampaian materi2 sains. Jika anda ingin belajar tentang alat-alat sekitar anda sehingga bisa dengan lancar dan pe de membantu anak-anak anda belajar, klik http://www.howstuffworks.com/ yang merupakan website untuk mengetahui bagaimana prinsip kerja alat2 di sekitar kita.

Jangan lupa pendidikan sastra untuk anak-anak anda. Buku-buku cerita yang menceritakan pesan moral dapat anda gunakan untuk menutupi kekurangan pembangunan sisi afeksi anak-anak yang mungkin belum tercukupi di sekolah. Situs ini milik pak Sudarjanto http://sudarjanto.multiply.com/journal/item/394/Kumpulan_Dongeng_Anak_Indonesia  bisa anda buka untuk mengunduh cerita-cerita klasik dari majalah Bobo yang banyak membawa pesan moral untuk anak-anak. Blog dan website para penulis yang sekarang bertebaran bisa anda gunakan untuk mencari cerita-cerita berkualitas untuk menyiapkan anak anda belajar dari cerita2 penggugah hati.

Jangan lupa perpustakaan umum bisa menjadi wadah anda belajar menggunakan buku-buku gratis, baik buku sastra, sains, religi maupun popular. Perpustakaan kota Malang adalah salah satu perpustakaan umum favorit saya dimana tersedia ruang anak-anak sampai ruang pameran yang bisa digunakan untuk pengembangan learning society (masyarakat belajar).Silahkan kunjungi web ini http://digilib.malangkota.go.id/ untuk mengunjungi perpustakaan ini lewat layar komputer anda. Semoga tiap2 PEMDA mulai mengembangkan fasilitas ini. Jika kota anda tak mempunyai fasilitas ini, bergabunglah dengan komunitas buku yang mulai berkembang. Dik Doang telah memprakarsai adanya komunitas buku yang mungkin bisa anda jadikan sumber inspirasi pengembangan komunitas buku. Silakan klik http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=1343   untuk melihat kegiatan peningkatan literasi masyarakat. Komunitas 1001 Buku juga bisa menjadi rekanan anda dalam membentuk perpustakaan swadaya di lingkungan anda.

Satu praktek menarik di Australia adalah bahwa sebuah sekolah mempunyai motto yang menarik. Motto ini diharapkan bisa mewarnai sikap anak didiknya. Motto ini misalnya honesty, integrity, responsible and getting along. Nilai-nilai ini akan selalu dikembangkan dalam segala proses belajar mengajar. Pengikutsertaan orang tua dalam program2 sekolah juga menjadi satu kunci penting berhasilnya proses penanaman nilai-nilai ini. Untuk lebih jelasnya silahkan mengunjungi web http://www.morelandps.vic.edu.au/. Web salah satu SD sebelah rumah saya di Melbourne. Silahkan dibaca program2nya dan mari dikembangkan program2 yang mungkin bisa anda realisasikan di lingkungan anda.

Saya tetap optimis bahwa pendidikan Indonesia akan semakin bagus. Tak benar jika bule selalu superior dibanding kita. Banyak sisi pendidikan Indonesia yang menurut saya banyak membantu saya menjadi orang yang lebih baik. Saya pribadi merasakan pentingnya religi dalam mendasari proses belajar saya. Saya tidak bisa mengklaim bahwa religi memang satu2nya kesuperioran pendidikan Indonesia karena ditengarai pendidikan agama negara kita juga gagal :p. Namun saya pribadi merasakan inilah nilai penting pendidikan Timur yang saya banggakan. Saat para teman lab saya telah kehilangan alasan kenapa mereka harus terus menerus belajar ketika alasan material telah tak lagi bisa membantu, maka saya merasa tenang ketika saya merasakan semangat ibadah padaNya menjadi alasan saya tetap belajar. Nilai-nilai agama untuk selalu menguak misteri alam sebagai jalan mengenal kebesaranNya plus kewajiban untuk selalu mengamalkan ilmu adalah semangat yang saya syukuri ada dalam dasar semua proses belajar saya.

Pendidikan sangat krusial untuk membentuk Indonesia yang lebih baik, dan anda akan selalu bisa berpartisipasi di dalamnya. Be creative and together we’ll make a better Indonesia!!!

Melbourne, 29 Maret 2009 (hari ulang tahun ibunda tercinta…)
Salam

Sumber : 1000Guru.net

Baca juga : Pradikma Pendidikan Masa Depan


Tinggalkan komentar

Kategori