Oleh: Redaksi e-Newsletterdisdik | Juli 12, 2010

Guru Bahasa Indonesia ‘Berpaling’ pada Bahasa Asing

Guru Bahasa Indonesia ‘Berpaling’ pada Bahasa Asing

Oleh: Ria Febrina

ilustrasiSuatu pagi, di acara seminar kebudayaan Indonesia, saya bertemu dengan seorang guru, yang ternyata adalah guru Bahasa Indonesia. Kami pun memperkenalkan diri. Ternyata, guru tersebut adalah guru bahasa Indonesia. Berpikir bahwa kami sama-sama bergelut di bidang bahasa Indonesia, Obrolan ringan pun mengalir pada nilai ujian nasional bahasa Indonesia yang merosot tahun ini.

Banyak siswa SMP dan SMA yang tidak lulus di ujian bahasa Indonesia. Namun, hanya beberapa saat, obrolan tersebut pun berhenti. ‘Kami’ tidak sempat membahas soal kendala yang dialami siswa selama ini. Meski, saya mendengar satu kalimat dari beliau, bahwa banyak siswa yang menganggap ‘remeh’ pada bahasa Indonesia.

Namun, belum sempat saya menyatakan pendapat saya, beliau bertutur mengenai minatnya pada bahasa Jepang. Lalu, mengalirlah cerita mengenai keinginannya berada di Jepang; ingin mengajukan diri sebagai pengajar bahasa Jepang di sekolah; dan hal-hal lain, yang kemudian membuat saya terdiam. Apakah begitu besar niat seorang guru bahasa Indonesia mengajar bahasa Jepang kepada siswa-siswanya, padahal situasi ‘nyata’ menyatakan bahwa siswa SMP/SMA masih belum mapan dengan konsep bahasa Indonesia.

Saya jadi ingat dengan guru bahasa Indonesia semasa SMA. Setiap hari, beliau dengan gigih mengajar siswa kelas III, baik kelas IPA/IPS untuk bersama-sama menjawab soal ujian nasional bahasa Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir. Ia melihat bahwa kecendrungan penutur bahasa Indonesia menganggap bahasa Indoensia itu mudah, karena bahasa Indonesia adalah milik mereka.

Memang, berbahasa Indonesia mudah, tetapi memahami ilmu bahasa itu tidaklah mudah. Oleh sebab itu, ia pun berkata, bahwa guru bahasa Indonesia harus lebih giat mengajarkan siswanya dalam memahami pelajaran bahasa Indonesia.

Beranjak pada situasi lain, suatu hari saya melihat dosen bahasa Indonesia mengajar bahasa Indonesia di Fakultas Kedokteran. Saya sempat terkejut (dan akhirnya bangga), bahwa dosen bahasa Indonesia tidak mengajarkan ‘teori’ bahasa Indonesia, namun ia meminta makalah mahasiswa, dan kemudian mengajarkan bagaimana penulisan makalah, dan bersama-sama mengoreksi EYD, serta logika bahasa dalam makalah tersebut. Menurutnya, memahami bahasa Indonesia harus dengan logika, karena sudah ada kaidah-kaidah yang ditentukan bagaimana penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri. Itulah pendapatnya.

Ini pula yang membuat saya teringat dengan seorang pengamat budaya, bahwa masyarakat kita sering melupakan konsep ‘humanity’ dalam berbahasa. Misalnya, ketika membuat surat dinas, kita sering menghilangkan unsur ‘subjek’, padahal subjek adalah penentu ada ‘penutur’, dan disampaikan kepada ‘lawan tutur’. Persoalan ini menjadi satu persoalan juga baginya. Saya pun menjadi mengerti, mengapa ketika SMA dulu, banyak soal mengenai ‘surat dinas’ dalam ujian nasional.

Jika soalnya harus dijawab dengan pilihan ganda, maka kita akan dipusingkan dengan jawaban yang mirip. Saya pun mengerti, bahwa kita tidak paham dengan struktur penulisan bahasa Indonesia. Padahal, jika kita berjalan di rel ‘bahasa Indonesia’ yang telah disepakati oleh ahli bahasa Indonesia sejak 28 Oktober 1928, ‘mungkin’ pada saat ini, bahasa Indonesia adalah ilmu yang menarik, karena setiap aspek kehidupan berkaitan dengan bahasa. Misalnya, ketika berpidato, kita membutuhkan bahasa. Untuk bernegosiasi soal bisnis, kita membutuhkan bahasa. Ketika membuat makalah, karya ilmiah, karya fiksi, bahasa adalah fondasinya. Lalu, kita bertanya, patutkah kita mengabaikan persoalan bahasa Indonesia?

Dalam kondisi ini, saya menyimpulkan bahwa persoalan bahasa bukan hanya tanggung jawab guru bahasa Indonesia. Apalagi, ketika kita melihat di univeristas keguruan beberapa waktu lalu, yang diajarkan kepada mahasiswa adalah ‘bagaimana mengajar’, bukan ilmu mengenai bahasa Indonesia itu sendiri. Sementara itu, di universitas keilmuwan, yang mereka pahami adalah ‘konsep kebahasaan itu sendiri’, menjadi ahli bahasa, yang tak hanya untuk bahasa Indonesia, tetapi juga untuk hukum bahasa asing. Patutlah kiranya, kemudian saya berkeinginan nantinya, ada jalinan hubungan antara dua universitas ini.

Pada saat tersebut, saya ingat dengan salah satu pertanyaan dosen Pertanian Unand yang bertanya tentang nilai bahasa Indonesia siswa SMA yang gagal pada ujian nasional tahun ini. Saya akhirnya bisa menjawab, bahwa ternyata pelajaran bahasa Indonesia tidak diajarkan oleh ‘ahli bahasa Indonesia itu sendiri’.

Perihal guru pun, masih ada guru bahasa Indonesia yang tidak serta merta ‘sedih’ ketika banyak siswanya yang gagal. Bahkan, perhatian mereka terpecah untuk mengurusi ‘bahasa asing’. Betapa sedihnya kita sebagai orang-orang yang paham dengan bahasa. Dan betapa malangnya, para siswa yang tidak mendapatkan hak-nya untuk paham tentang bahasa milik mereka sendiri. (*)

Sumber: inioke.com

Tanggapan

  1. This is the greatest nonsenese I ever heared off.

  2. This is really unbelivable. I cannot believe in this article.

  3. Great idea, but will this work over the long run?

  4. Iya Pak, kebanyakan orang-orang memang lebih bangga dengan Bahasa Asing. Semoga kita bisa berproses menjadi seorang yang ahli bahasa Indonesia sehingga kita tidak salah dalam mengajarkan Bahasa Indonesia pada anak didik kita. Amiin………


Tinggalkan Balasan ke dyah Batalkan balasan

Kategori