Oleh: Redaksi e-Newsletterdisdik | Oktober 5, 2011

Profesionalme Kebijakan Pemimpin: Integritas Pengetahuan-Keterampilan-etika (Analisis Kepemimpinan Masa Depan)

Profesionalme Kebijakan Pemimpin:
Integritas Pengetahuan-Keterampilan-etika
(Analisis Kepemimpinan Masa Depan)

Oleh : Hamdan Siradj *)

Masyarakat secara umum adalah subyek sekaligus obyek proses sebuah kebijakan, baik dalam kebijakan ekonomi, politik atau bahkan kebijakan pelayanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Sebagai subyek, masyarakat merupakan individu-individu pertimbangan suatu kebijakan dan sebagai obyek, masyarakat merupakan tempat kebijakan itu akan direalisasikan. Disinilah pentingnya dari sejak perumusan sampai dengan impelementasi kebijakan selayaknya harus memperhatikan norma-norma kebijakan (baca: etika kebijakan) sehingga masyarakat yang menjadi sasaran kebijakan betul-betul terlayani, terayomi secara adil-bijaksana tanpa ada diskriminasi dan tebang pilih.

Saat ini, beberapa lembaga eksekutif (birokrasi) dan legislatif sering diduga oleh masyarakat oleh karena diindikasikan banyak individu di dalamnya melakukan tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat banyak. Informasi yang up to date adalah kasus korupsi wisma atlit dan kasus korupsi dana pendidikan yang pelakunya disangka saudara Nazarudin (anggota DPR RI Fraksi Demokrat) yang hingga kini masih dalam penanganan aparat berwajib.

Realitas ini sulit dipungkiri, karena sebagaimana umumnya di Negara ini masih tumbuh suburnya pola laku korupsi-kolusi yang seringkali diwartakan. Penyakit-penyakit yang biasa melekat dalam tubuh eksekutif, legislatif, dan yudikatif ini, rasanya masih sulit diobati, sekalipun sudah beberapa kali di beri “pil-pil” kesehatan dan terapi; ada yang disebut deregulasi, debirokratisasi, dan reformasi, serta bahkan sampai dibentuk komisi spesialis pemberantasan korupsi. Konsep tersebut cukup indah pada cita-cita idealnya, namun masih merupakan PR dan belum indah dalam penegakannya. Hal inilah yang disinggung oleh Tjokroamidjoyo dalam bukunya Sobandi (2004) dengan mengatakan bahwa salah satu hambatan pokok terhadap kemampuan administrasi negara untuk mendukung tugas-tugas baru dalam pelaksanaan pembangunan adalah sikap mental pejabat pemerintah yang masih kumuh (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sebagai pemimpin, perancang, pembuat dan pelaksana kebijakan.

Lembaga-lembaga profesional, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif, belum begitu banyak yang memahami dan menjiwai makna profesionalme serta tugas dan tanggung jawab profesinya itu. Ini disebabkan oleh adanya kejumudan berfikir (mindlessness), kemalesan belajar, sulit menerima interupsi, dll. Dimanapun kita berada, apapun profesi yang kita sandang, dan apapun latar belakang kita bahwa dimensi pengetahuan-keterampilan-etika (moral) harus menjadi pemahaman dan keyakinan dalam diri setiap profesi dalam menjalankan amanah yang diberikan.

Profesionalisme: Kesatuan Pengetahuan-Keterampilan-etika

Profesionalisme, istilah ini telah banyak kita diskusikan ditempat-tempat seminar dan ruang publik lainnya. Istilah ini juga seringkali ditempakan pada sebuah profesi yang bernama Guru, maka kita seringkali mendengar istilah “Profesionalisme Guru. Sebenarnya kata profesionalisme tidak hanya untuk guru tetapi juga dipakai dalam semua penekunan ilmu dan jabatan.

Dalam pengertian Nugroho (2008) bahwa profesionalisme merupakan sutau standar dimana  seseorang memiliki penguasaan ilmu dan pengetahuan yang khusus yang berkenaan dengan pekerjaan yang ditekuninya. Dimana ia dapat mentransformasikan ilmu dan pengetahuan tersebut menjadi keterampilan dan dalam melaksanakan keteampilan tersebut, yang kemudian dilandaskan kepada “etika atau moralitas”. Yang kemudian dapat dipahami bahwa dalam profesionalisme itu adanya bangunan segitiga: Pengetahuan-Keterampilan-dan Etika (moralitas).

Penguasaan ilmu pengetahuan tanpa kemampuan mentransfer menjadi keterampilan (skills), tidak ada gunanya. Berpengetahuan dan dapat mentransformasikan menjadi keterampilan tetapi tanpa etika (moral) akan menjadikan genius-terampil yang “hewani”. Tiga dasar karakteristik profesional itulah yang sesungguhnya mesti dimiliki oleh seorang pemimpin  sebagai pemegang dan pengambil kebijakan (Policy Maker) disemua lini institusi negeri tercinta ini. Sehingga penylahgunaan jabatan yang bermuara pada korupsi, kolusi dan perbuatan amoral lainnya bisa terhentikan.

Kalimat profesionalisme ini acapkali hanya akan menjadi bumbu penyedap pembicaraan dan ungkapan yang tak memiliki makna bila tidak dibarengi dengan ikhtiar atau ijtihad untuk mencapainya. Hingga kini, profesionalisme hanya dikaitkan dengan kemampuan fisik dan rasio belaka sehingga kering dari moralitas. Ketika seorang bicara profesionalisme, pikiran orang terbersit pada kepandaian, keahlian, keterampilan dan kelihaian. Bila demikian halnya, seorang penjahat dapat diberi predikat profesional jika tindak kejahatannya dilakukan dengan cangggih dan kelicikannya tidak diketahui orang lain. Seorang maling dikatakan profesional bila ia mampu merampok dengan lihai dan tidak tertangkap aparat. Seorang koruptor dikatakan profesional jika mampu melakukan korupsi tanpa diketahui KPK seperti kasus BLBI atau kasus Bank Century yang masih menimbulkan tanda tanya besar dalam penyelesaiannya.

Pertanyaannya kemudian adalah benarkah pengertian profesional seperti demikian? Bila kita menyimak beberapa literatur, karakteristik seorang profesional akan dapat kita temukan. Pertama, ahli dibidangnya (expertise). Kedua, bersikap mandiri (autonomy). Ketiga, bertanggung jawab atas pekerjaannya (akuntablity), bekerja sepenuh kemampuan tidak asal-asalan dan tidak asal jadi. Keempat, memperlihatkan dirinya adalah seorang profesional. Kelima, memegang teguh etika profesi, bersikap jujur, tidak berdusta, dan tidak berbuat curang. Keenam, mampu memelihara hubungan baik dengan pihak lain termasuk klien-kolega-masyarakat (Mary: The new Profesional, 1988:12)

Karakteristik profesional tersebut dapat ditafsirkan secara lebih mendalam karena memuat nilai-nilai moral dan mental yang sangat kaya. Apalagi bagi pejabat eksekutif,legislatif, dan yudikatif yang berprofesi sebagai pelayan dan penampung aspirasi masyarakat. Jelas bahwa seorang dikatakan profesional bila ia menguasai pekerjaan dengan benar dan penuh etika. Seorang staf yang profesional akan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukannya. Sikap profesional itu muncul karena seorang profesional memiliki pendirian yang tangguh. Sekalipun tidak diawasi oleh atasannya, ia tetap berkeyakinan bahwa ini tanggung jawab dan amanah yang harus dilaksanakan sebab pertanggung jawabannya tidak sebatas sampai pada tataran dunia tetapi pertanggung jawabannya sampai pada Tuhan (akhirat), seluruh pekerjaannya akan dipertanggung jawabkan disisi Tuhan (akuntabilitasnya bersifat keTuhanan-Teoacuntability). Akuntabilitas Ilahiyah ini akan dapat menghilangkan rasa malas dalam bekerja dan keengganan; sebaliknya ia akan menciptakan kesungguhan dalam bekerja memberi pelayanan kepada khlayak masyarakat yang mebutuhkannya.

Seorang profesional yang mampu memahami dan menunjukan bahwa dirinya profesional tidak akan terkelabui dan tersesatkan oleh interes-interes pribadi. Ketika uang sogokan menggoda akal-hati nurani atau ketika ada kesempatan untuk korupsi terbuka lebar, mata hatinya tidak akan meliriknya. Ia akan bersikap tangguh dan penuh kesadaran bahwa perbuatan hina-dina itu bukan bagian dari profesinya. Itu dilakukan karena ia berpegang teguh pada etika moral dalam bekerja. Itulah karakteristik seorang profesional yang sesungguhnya. Ia tidak berbuat licik, curang, dan khianat. Ia tidak berminat memanipulasi dan mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Jadi, ”teori penghalalan segala cara yang penting tujuan tercapai” atau prinsip sesat bahwa ”kalau mempersulit urusan untuk menguntungkan, kenapa mesti harus dipermudah” tidak akan pernah dimiliki dan dilakukan seorang profesional.

Akhir kalam

Untuk kondisi saat ini, dimana korupsi dan perbuatan amoral lainnya oleh pejabat menjadi sajian media massa, baik  local maupun nasional, konsep ini mempunyai relevansi yang baik untuk dipahami, didakwahkan dan diamalkan dalam berbagai institusi dan lembaga, lebih-lebih di lembaga pendidikan. Apalagi saat ini, lembaga pendidikan mempunyai anggaran yang termasuk tertinggi (mencapai dua puluh persen). Kebijakan seperti itu sangat rentan dengan penyalahgunaan wewenang, pemotongan dana baik dari pusat hingga lembaga pendidikan (sekolah) atau berbagai praktik amoral lainnya, karena kebijakan semacam itu sangat menjanjikan dan menggiurkan.

Karena itu, gagasan mengenai perlunya integritas pengetahuan-skills-etika dalam suatu proses kebijakan, terutama untuk para pengambil kebijakan/pemimpin, mulai dari birokrasi tingkat pusat sampai satuan lembaga paling bawah sangat penting dan dibutuhkan. Ringkasnya, profesionalisme pejabat berupa kemampuan rasional, analisis-kritis, dan skills yang tinggi harus diimbangi dengan etika/moralitas agama yang tinggi pula.

Semoga ada guna…… Amiiin

*) Biodata Penulis:

Nama : Hamdan Siradj
Tempat dan Tanggal Lahir : Aikdewa Lombok Timur, 12 Desember 1983
Nomor Hand Phone  : 081 915 790 638
E-mail  : siradjhamdan@yahoo.com

———————-
Download artikel in dalam format word-document, [klik disini]


Tanggapan

  1. Terima kasih, tulisan Bapak sangat bermutu, semoga mengugah hati untuk mengintrosfeksi diri. Profesionalisme di negeri kita hanya mengutamakan kecerdasan pikir, keahlian kinerja melupakan keikhlasan hati dan kemuliaan akhlak. Dampak dapat kita rasakan bersama, kejahatan semakin merajalela dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Para pejabat banyak yang jahat, politisi dan pejabat birokrasi doyan korupsi

  2. Salah satu karakteristik seorang profesional yang paling tidak boleh dilupakan adalah menjadikan “pekerjaan itu sebagai mata pencaharian”. Semakin bagus mutu keterampilan dan pelayannannya semakin tinggi “bayarannya”. Kita tidak mengenal kata “tanpa pamprih” pada diri seorang yang profesional.

  3. Baguss….
    Bisa jadii sumber pengetahuan..dan penambah materi pelajaran..
    Thanks to postingannya


Tinggalkan Balasan ke Yennie Astuti Batalkan balasan

Kategori