Oleh: Redaksi e-Newsletterdisdik | Mei 10, 2008

Rapuhnya Komitmen Guru

RAPUHNYA KOMITMEN GURU

Oleh Gurgur Manurung
(Anggota Komunitas Air Mata Guru, mahasiswa doktor UNJ)

Tingkat kesulitan soal ujian nasional (UN) yang tinggi membuat guru terpaksa melakukan kecurangan dengan membantu siswanya menyelesaikan soal. Hal itu dilakukan semata-mata karena panggilan hati nurani guru yang ingin muridnya sukses. Demikian jawaban klasik para guru yang terlibat dalam kecurangan UN di Sumut. Menurut Sri Lestari, guru SMA Negeri 2 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara ”bila dikaji lebih mendalam, sesuai lembaran jawaban sebelum jawaban diubah, banyak di antara murid yang terancam tidak lulus mengikuti UN”, hal itu disampaikannya kepada wartawan. Jawaban yang persis sama disampaikan guru yang terlibat di Makassar dan kota-kota lain. Tahun lalu di Medan, ada siswa yang mengancam guru yang membongkar kecurangan UN.

Aneh memang, selama ini pemerhati pendidikan yang memiliki komitmen yang tinggi kepada pendidikan menolak UN. Tetapi pemerintah tetap memaksakan kehendaknya. Pemerhati pendidikan dan sejumlah guru besar yang tidak diragukan lagi kapasitasnya menganggap bahwa UN sebagai tolok ukur kelulusan siswa merupakan tindakan yang mencederai pendidikan. Selain tidak mendidik anak didik, UN juga dianggap tindakan pemborosan uang negara. UN juga tidak tepat dilakukan mengingat pendidikan di Indonesia belum merata. Mengapa dana lebih dari RP 500 milyar tidak digunakan memperbaiki fasilitas sekolah seperti gedung sekolah yang sudah roboh?, demikian pertanyaan banyak orang.

Banyak orang yang memaklumi tindakan para guru itu karena dianggap keadaan terpaksa. Dan, mereka kemungkinan akan dilepaskan dari jeratan hukum dengan alasan karena keadaan terpaksa pula. Bisa saja penegak hukum mengatakan, terpaksa dilepaskan karena jika guru ditahan maka murid kehilangan guru. Sebab guru yang mengajar di sekolah terbatas. Kata terpaksa menjadi kata mujarab dalam pembenaran di negeri ini. Masyarakat latah menyalahkan keadaan. Padahal keadaan itu dapat dikondisikan manusia. Manusialah yang mengatur keadaan, bukan keadaan yang mengatur manusia.

Jikalau guru memegang teguh komitmennya sebagai guru, apapun hasil UN itu bukan urusan mereka. Urusan mereka adalah memberi yang terbaik kepada siswanya. Memberi yang terbaik adalah memberi keteladanan, terutama kejujuran. Meminjam pendapat Deni Boy Saragih mantan Koordinator Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang mengatakan jika guru membantu siswa dengan cara memberi kunci jawaban soal itu berarti menciptakan orang-orang calon koruptor. Tindakan guru semacam itu mengajarkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh tujuan. Bagaimana mungkin siswa yang diluluskan dengan cara curang kelak menjadi manusia berintegritas?. Dalam konteks Indonesia yang dipenuhi para koruptor, semestinya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam proses belajar mengajar lebih mengedepankan program membangun anak-anak yang berintegritas. Keliru besar Depdiknas meningkatkan nilai angka kelulusan dari 5,00 menjadi 5,25 dengan mengabaikan afektifitas dan motorik siswa. Negeri ini membutuhkan orang yang hatinya tulus dan semangat yang berkeadilan seperti yang dikandung oleh nilai-nilai Pancasila. Berbudi pekerti luhur merupakan prioritas pendidikan kita. Seseorang yang berbudi pekerti luhur secara otomatis giat belajar untuk membagi-bagikan pengetahuannya demi kesejahteraan umat manusia. Sebaliknya, seseorang yang nilai akademiknya tinggi tidak secara otomatis melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain.

Komitmen dan perubahan

Seandainya seluruh guru-guru di Indonesia komitmen untuk jujur, maka kemumgkinan besar ”keras kepala” pemerintah memaksakan UN akan berubah. Sebab, analisis yang mengatakan kecurangan UN sebagai puncak gunung es akan terbukti. Kepentingan-kepentingan kepala sekolah seperti prestasi kelulusan yang tinggi agar tidak dipindahkan atau agar mendapat penghargaan atau kenaikan pangkat, dan lain sebagainya merupakan fakta. Perguruan swasta juga berkepentingan untuk mengangkat nama baik sekolah. Sebab, telah menjadi rahasia umum sekolah swasta berusaha meningkatkan tingkat kelulusan dengan tujuan agar siswa yang mendaftar tahun berikutnya meningkat pula. Kelulusan yang tinggi dalam laporan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) ke Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2007 yang lalu yang mengatakan bahwa nilai rerata siswa meningkat tahun 2007 terbantahkan. Laporan Mendiknas ini disebut Deni Boy Saragih dalam artikelnya di sebuah harian Nasional sebagai prestasi yang lancung.

Perubahan itu akan terjadi apabila guru-guru memiliki keyakinan yang teguh atau memilki komitmen yang kuat bahwa negeri ini menjadi adil dan makmur seperti yang diamanatkan UUD 1945 jika guru-guru bersikap jujur dalam kondisi apapun. Jika siswa tidak lulus karena komitmen kejujuran maka hal itu menjadi pembelajaran bagi siswa dan guru. Jika siswa tidak lulus maka siswa mengevaluasi diri untuk memperbaiki cara belajar. Bagi guru, hal itu menjadi masukan untuk memperbaiki cara mengajar dan memperbaiki sikap terhadap siswa. Dan, hal itu menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah. Tidak mungkin mengeraskan ”kepalanya” jika siswa tidak lulus 50 %. Jika pemerintah mengeraskan ”kepalanya”, maka rakyat secara otomatis mencabut mandatnya. Tetapi, karena komitmen untuk jujur tidak ada maka seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bangsa ini akan menjadi celaka apabila dihuni masyarakat yang tidak jujur. Kejujuran memang pahit, tetapi tanpa kejujuran apapun rumus yang dipakai jika data yang dimasukkan salah, hasilnya pasti salah. Rerata nasional pasti salah, jika hasil yang diratakan ternyata hasil dari kecurangan. Jika negeri ini ingin keluar dari multi krisis, tidak ada alasan lain selain kita harus memabangun dengan komitmen kejujuran dalam kondisi apapun.

Sumber : Mailinglist Puskur

——————–
Download artikel ini dalam format word document [klik disini]


Tanggapan

  1. Seandainya panggilan hati seorang Guru itu masih benar-benar Murni dan Tulus mungkin dapat mengurangi kekacauan di Negara ini, khusunya dalam Bidang Pendidikan.

    Tapi, bisa saja ini kesalahan Sistim yang tidak mencoba mengcaji dahulu kelayakan sebelum menerapkan sistem tersebut. Anehnya, mengapa pemimpinnya berganti berganti pula sistimnya contohnya seperti KURIKULUM PENDIDIKAN yang selalu berubah-ubah.. Kan dan yang menjadi Korban pasti “Siswa”. dimana hati nurani pemerintah ini… Bukankah dia pernah duduk dibangku sekolah seharusnya dia harus melihat dan merenungkan bagaimana nasib anak didik.

    Dan mengenai koruptor.., bagaimana cara menghilangkannya..?? sedangkan seorang guru yang harus seharusnya mendidik dan memanusiakan seorang manusia saja sudah lari dari jalur dan panggilannya sebagai seorang pendidik…, dan bagaimana Siswa yang berprestasi bisa dan akan semangat mengembangkan ilmu dan kemampuan yang dimiliki, kalau ternyata HASIL SELEKSI PESERTA OLIMPIADE SAINS 2008 saja yang sangat diharapkan oleh semua siswa, ternyata hasilnya dipertanyakan..??, Kog bisa ya… siswa yang Tidak datang Ujian malah keluar Keluar Nilai dan Score yang lumayan tinggi, dan malah siswa yang sudah pernah mengikuti olimpiade sampai tingkat Nasional dan sudah memperoleh Medali..malah nilainya MINUS.

    Dimana lagi didapatkan Nilai kejujuran itu..??

  2. Manusia Tanpa Jiwa? Renungan 10 tahun reformasi
    11 05 2008

    Sejenak kita coba merenung ke masa awal reformasi, 10 tahun yang lalu. Masyarakat menjadi beringas, kalau ada yang tidak setuju terhadap sebuah kebijakan langsung main hantam, bakar!! Kalau ketemu orang yang dianggap maling langsung digebukin di tempat saat itu juga. Kalau mengusulkan sesuatu, harus diterima. Bila tidak, akan dimusuhi, jika perlu dihancurkan. Serasa bangsa ini tidak punya aturan dan etika lagi.

    Mari, kita flashback ke beberapa dekade sebelum reformasi. Hampir semua orang ingin maju tanpa melalui proses sebagaimana lazimnya. Anak sekolah mau naik kelas kalau bisa tanpa ujian, ingin lulus tanpa susah-susah belajar, ingin jadi sarjana jiplak karya tulis orang. Tak terkecuali orang tua murid selalu menginginkan anaknya naik kelas atau lulus ujian walaupun kemampuannya rendah, dengan menempuh berbagai cara seperti menemui kepala sekolah, wali kelas atau kalau kebetulan punya kenalan pejabat eselon yang lebih tinggi minta katebelece agar diberikan prioritas. Naik kelas, naik pangkat atau naik gaji tentu semua orang mengharapkan, tetapi untuk mendapatkannya sering menempuh segala cara, tidak mengindahkan etika dan aturan main.

    Kondisi beginilah yang terus-menerus berlangsung beberapa dekade terakhir, apakah ini merupakan suatu rekayasa dari pihak tertentu atau memang kondisi tersebut dibiarkan terjadi untuk menghancurkan moral anak bangsa. Sampai hari ini setelah 10 tahun reformasi masih banyak orang tua dan guru-guru secara sengaja menghancurkan anak didiknya sendiri dengan membantu mereka dalam menyelesaikan soal-soal ujian nasional (ingat kasus Medan yang diusung oleh Airmata Guru tahun 2007) dan pada waktu pelaksanaan ujian nasional tahun 2008 ini masih terjadi kasus-kasus serupa di berbagai daerah.

    Berdasarkan contoh-contoh di atas cobalah kembali kita renungkan, kenapa semua ini terjadi, kenapa orang-orang ingin cepat kaya tanpa susah-susah melaui proses yang semestinya, kenapa orang menginginkan semuanya serba instant, tidak mau “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Walaupun peribahasa tersebut sudah jarang terdengar di telinga kita sekarang ini tapi subtansinya masih relevan.

    Apakah kita ini sudah kehilangan roh, apakah kita sudah seperti mesin yang bekerja tanpa rasa, atau robot-robot yang tak berjiwa. Ataukah kita sudah menjadi makhluk-makhluk gentayangan yang bekerja tanpa mengenal lelah demi untuk mengejar target, demi untuk mengejar kekayaan dengan cara apapun yang menjadi ukuran kesuksesan dewasa ini.

    Gerakan Reformasi memang sudah merubah secara drastis perjalanan bangsa ini. Ibarat kapal laut yang seyogiyanya mengambil ancang-ancang dengan membuat setengah lingkaran untuk berbelok agar kapal tidak oleng dan penumpangnya tidak goncang dan kaget. Tetapi seperti kita saksikan gerakan reformasi telah memaksa nahkoda untuk memutar-balik kapal bangsa ini dengan belokan patah. Penumpang kaget dan keluarlah sifat-sifat asli yang jelek, bagaimana menyelamatkan diri tanpa menghiraukan orang lain, muncul sifat nafsi-nafsi (individual) untuk mencari kesempatan dalam kesempitan dan menyelamatkan diri, harta dan keluarga. Mereka mengklaim bahwa mereka sajalah yang benar, orang lain salah. Apabila mendapat kesempatan menjadi pejabat akan mengangkat orang-orang dari keluarga, kelompok atau golongannya, bahkan keluar pameo bahwa “dulu giliran elo, nah sekarang giliran gue..!!”

    Pertanyaan mendasar adalah apakah akan dibiarkan situasi dan kondisi ini berlangsung terus? Memang anggota parlemen sudah memulai langkah awal dengan merubah undang-undang yang tak sesuai dengan tuntutan reformasi, tetapi di lapangan tradisi lama yang sudah mendarah daging sulit untuk dihilangkan. Ibarat bermain bola kaki, aturan main memang sudah baru agar bermain cerdas dan sportif, tetapi yang bermain kan masih pemain-pemain lama dan sudah punya kebiasaan yang sulit untuk dirubah.

    Saya kira kita semua sepakat bahwa manusia-manusia tanpa jiwa (sebelumnya masih punya jiwa) itu umumnya pernah duduk di bangku sekolah (baca: dididik), tetapi kenapa demikian perilaku anak bangsa ini, apa yang salah pada lembaga pendidikan kita? Perlukah kita mengkaji ulang secara mendasar terhadap sistem pendidikan bangsa ini tanpa mencari siapa yang salah ??? Wallahu a’lam bissawab.(zh)

  3. rasany kita perlu mengkaji kembali latar belakang mengapa komitmen guru menjadi atau ditengarai mengalami kerapuhan. rasanya sangat tidak proporsional jika kita hanya menohok guru saja, sementara jika kita telaah, pekerjaan guru pada saat sekarang sangatlah kompleks dan seringkali guru merasakan bahwa dia telah bekerja ‘sendirian’. pada saat dia berusaha mengarahkan anak didik pada nilai-nlai positif kehidupan, ternyata di kehidupan nyata begitu gampang dan tenang saja masyarakat melihat anak sekolah yang bersikap tidak sebagaimana anak sekolah, misalnya keluyuran saat jam belajar. orang jawa bilang kalau watuk (batuk) dapat diobati, tetapi jika sudah menjadi watak, maka sangat sulit untuk diperbaiki. oleh karena itulah sebelum semua terlanjur, maka sebaiknya kita bergerak bersama-sama. jangan hanya menekankan pada guru untuk pendidikan anak sementara waktu kebersamaan guru hanyalah dari jam 7 pagi hingga jam 1 siang. seberapa tu?!

  4. Sebagai seorang guru saya sering lupa bahwa bekal yang paling utama adalah akhlak yang mulia serta ilmu yang berguna. Saya kemarin juga lalai bahwa bekal mereka bukan cuma selembar kertas yang berisi angka dan huruf yang disebut IJAZAH.
    Semoga keridhoan saya dalam memberikan ilmu merupakan kunci pembuka sistem bagi pintu kesombongan PEMERINTAH ini.


Tinggalkan Balasan ke M. arief Satya Munandar Batalkan balasan

Kategori