Oleh: Redaksi e-Newsletterdisdik | November 29, 2010

Urgensi Pendidikan Enterpreneurship Masuk Kurikulum Sekolah

Urgensi Pendidikan Enterpreneurship Masuk Kurikulum Sekolah

Oleh  Drs. Marijan
Praktisi Pendidikan di SMPN 5 Wates Kulon Progo Yogyakarta.

Sekolah yang selama ini diwajibkan dan menjadi kebanggaan, ternyata tidak menjamin hidup sukses seperti khayalan sebelumnya. Banyak penganggur drop out sekolah baik SD, SMP, SMA maupun sarjana yang justru merepotkan masyarakat ataupun pemerintah.

Kalau kita simak, budaya santai dan pemuja mental priyayi masih mendominasi sikap generasi muda dan mengangkangi  proporsi waktu dalam mengisi  segala aktivitasnya. Budaya malu bekerja kasar dan keras semakin menjerat anak-anak muda kita. Untuk menutupi rasa malu, generasi muda kita biasanya pergi ke luar daerah (urbanisasi).  Akan tetapi di tengah kota pun harus bersedia minum pil pahit dengan setumpuk persoalan.

Mengapa sekolah yang dianggap mempunyai masa depan lebih baik dan menelan waktu yang bertahun-tahun lamanya justru menjadikan pengangguran ? Walaupun jawabnya tergantung kreativitas, kelincahan dan kemandirian  lulusan siswa itu sendiri namun fenomena  yang demikian ini setidaknya sebagai bahan instropeksi bagi pembuat kebijakan, pembuat kurikulum  pendidikan demikian juga  kepala sekolah dan guru–gurunya.

Abad 21 telah berlangsung selama hampir sembilan tahun, abad di mana persaingan bebas dalam bidang ekonomi telah terealisir. Ini berarti dunia diwarnai oleh praktisi ekonomi. Untuk mengantisipasi abad ini mestinya dunia pendidikan tak boleh berjalan di tempat. Salah satu alternatif  adalah pembenahan kurikulum sekolah. Kurikulum yang berbasis kompetensi pun  idealnya mengandung sejumlah materi pendidikan  yang esensial dan dibutuhkan  masyarakat karena  akan mempengaruhi kualitas proses  dan hasil pendidikan. Dalam arti lain kurikulum harus dapat menguntungkan bagi upaya peningkatan sumber daya manusia ( SDM ) yakni peserta didik.

Untuk menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan, sangat diperlukan SDM yang tahan banting, penuh rasa kemadirian, tanggap keadaan, dan lain-lain yang semuanya mengarah kepada terbentuknya manusia yang unggul atau handal. Untuk membentuk SDM yang demikian diperlukan kurikulum yang relevan dengan kemajuan. Kurikulum diharapkan  menyiapkan generasi berdaya cipta seperti yang diangankan  Sudjatmoko (1990) dengan istilah kewirausahaan .

Istilah kewirausahaan (enterpreneurship) pertama dipakai oleh Cantillon dalam bukunya Essai sur la nature du commerce tahun 1755. Kewirausahaan cenderung dimaknai dalam  kaitannya dengan sikap kesiapan mental. Kewirausahaan banyak diartikan  dengan pemilihan  jenis pekerjaan  yang mandiri, inisiatif, tanggung jawab, berani menanggung resiko dan tanggap peluang-peluang baru.

Sikap dan pengalaman wirausaha seperti itu tampaknya belum dapat teraih oleh siswa maupun mahasiswa. Tak heran lulusan sekolah malah bingung  setelah hidup di masyarakat  karena di sekolah  terbiasa menunggu perintah dan dikebiri oleh berbagai aturan. Memang harus diakui  sekolah  selama ini belum mampu menumbuhkan rasa mandiri, inisiatif, dan kreatif para siswanya. Untuk menumbuhkan mentalitas kewirausahaan (enterpreneurship) di kalangan para siswa maka materi pendidikan kewirausahaan  yang sangat dibutuhkan itu harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Karena tuntutan jaman maka adanya kurikulum yang mengandung sejumlah materi pembelajaran yang antisipatif terhadap masa depan semakin menguat diperlukan.

Tuntutan era globalisasi dan pembangunan nasional seakan memojokkan bahwa pendidikan kewirausahaan meminta jatah  lokasi pada kurikulum sekolah.  Tak dapat disangkal  lagi  bahwa  pendidikan kewirausahaan benar–benar  dibutuhkan  dan memberi kemanfaatan  bagi anak dan masyarakat. Zeis ( 1976)  mengatakan sebagai the function effectivelly society. Artinya, sesuatu yang memang bermanfaat bagi usaha operasional program pembangunan  nasional  sebagai prioritasnya perlu dimasukkan  ke dalam muatan kurikulum sekolah. Bukankah pendidikan kewirausahaan sangat relevan dengan era perdagangan bebas di abad 21 ini ?

Barangkali masih ada yang menanyakan, mengapa pendidikan kewirausahaan perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah ? Setidaknya ada 3 alasan  sebagai berikut : pertama beralihnya pandangan masyarakat dari kultur bertani menuju kultur industri. Di dalam masyarakat industri jelas dibutuhkan SDM yang terampil, berinisiatif dan kreatif. Sikap dan watak yang demikian  terbentuknya lamban bahkan sangat sulit jika pendidikan kewirausahaan tidak segera diajarkan di sekolah. Kedua, nilai ekonomi  jasa jauh lebih tinggi daripada harga hasil tani. Hal ini menyebabkan  generasi muda kita memilih menjual jasanya dari pada bertani yang lebih lama menanti panen dan kurang mempunyai harga yang layak. Pilihan itu logis  karena dirasakan dapat mengangkat derajat  dan martabat dirinya. Ketiga, menumbuhkan rasa untuk berwirausaha bagi para siswa.

KONSEKUENSI

Untuk merealisasikan gagasan ini diperlukan adanya kesepakatan  dan keterpaduan dari berbagai pihak baik kalangan pemerintah, birokrat, sekolah, industri dan lembaga non pemerintah. Semua yang terkait ini dituntut konsekuensinya. Tentu saja situasi baru  akan memunculkan  persoalan baru juga, misalnya meningkatnya anggaran pendidikan karena juga diperlukan  training center bagi guru agar pengetahuan  ekonomi lebih tinggi dan praktis.

Adanya hubungan yang harmonis  antara pihak sekolah dengan pihak tempat praktek kerja lapangan (PKL) atau pemagangan  bagi para siswa yang perlu  diciptakan. Praktek kerja lapangan ini pun sebagai upaya mempertemukan teori yang diterima  siswa dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Hal ini penting bagi siswa agar tahu  persis keadaan lingkungan yang menekan dan mendorong sekaligus memberi motivasi untuk berinisiatif. Tentu diharapkan sekali keadaan sekolah dibuat sedemikian rupa tidak jauh berbeda serta tidak boleh ketinggalan jauh dengan teknologi industri di lapangan.

Dengan demikian berarti kurikulum yang memuat pendidikan kewirausahaan memerlukan  komponen  yang memadai agar dunia pendidikan kita benar-benar  berkualitas. Komponen tersebut misalnya tenaga kependidikan  yang profesional ( berwawasan industri), fasilitas cukup , bengkel kerja yang sejajar dengan teknologi industri yang ada.
———
Download artikel ini dalam versi word document, [klik disini]

Artikel Terkait:


Tanggapan

  1. terlalu banyak beban titipan yg blm jelas menjadikan output nya seperti apa ???…, kalau mau trampil, ya trampil apa sekalian, mau sains ya sains nya yg kuat, mau nyeni yang nyeni sekalian……………, ngga setengah2 atau malah cuma serba icip-icip tok !!


Tinggalkan komentar

Kategori